Rabu, 14 Agustus 2019

Tugas Kampus book report, menemukan 2 kutipan menarik dalam buku Simon Chan, Spiritual Theology 1 dan 2


TUGAS
TEOLOGI PENTAKOSTA

BOOK REPORT
Spiritual Theology 1 dan 2







Dosen:
DR. Junifrius Gultom












Disusun Oleh:
KRISTANTO LIMPA BUDA
N.I.M: ......


















Identitas Buku

Judul Buku         : Spiritual Theology 1 dan 2  – Study Sistematis Tentang
                             Kehidupan Kristen

Pengarang            : Simon Chan

Penerbit               : ANDI Jogjakarta

Tahun Terbit       : 2002

Tebal Halaman     : 202 dan 201



























BAB 1
TEOLOGI ROHANI KRISTEN, SIFAT DAN KRITERIANYA

 “Teologi sistematis memusatkan perhatian pada konsep-konsep dan formulasi rasional dari pengalaman Kristen. Sedangkan teologi rohani memusatkan perhatian pada pengalaman dibalik formulasi tersebut.”
(Simon Chan,  Spirutal Thelogy 1, ANDI Jogjakarta, hal. 13)

Dalam bagian ini penulis memberi kita gambaran yang jelas mengenai perbedaan antara teologi sistematika dengan teologi rohani. Tidak disangkal masih banyak orang Kristen yang aktivitas rohaninya terkerangkeng dalam sesuatu yang bersifat dogmatis yang merupakan warisan turun temurun dari gereja. Namun pada kenyataannya kita melihat bahwa doktrin warisan tersebut tidak memberi dampak yang signifikan bagi gereja untuk bertumbuh kearah Kristus sebagai inti dari ilmu teologi. Dalam bagian ini penulis menekankan perlunya pengalaman spiritual sebagai bagian dari teologi rohani yang akan mendorong seseorang mengaplikasikan setiap formulasi teologi, misalnya Allah kasih, diaplikasikan melalui kehidupan yang saling mengasihi.

“Sifat komprehensif, koheren dan bisa membangkitkan semangat. Ketiganya biasanya menentukan apa yang harus digolongkan sebagai teologi rohani yang baik”.
(Simon Chan, Spiritual Theology 1, ANDI, Jogjakarta 2002, hal. 20)

Disini penulis memilih tiga paham yakni paham kontekstual secara global, Injili dan karismatik untuk  melihat apakah dari masing-masing paham tersebut memiliki kriteria material untuk sebuah teologi rohani Kristen yang komprehensif, koheren dan bisa membangkitkan semangat. Disini disajikan secara jelas mengenai peranan tiap-tiap paham khususnya Injili dan karismatik yang notabene seringkali bertentangan. Maka ketika kita membaca pemarapan penulis, kita akan menemukan masing-masing kepentingan dari paham tersebut dalam kaitannya dengan teolog rohani Kristen.











BAB 2
DOKTRIN KRISTEN TENTANG ALLAH SEBAGAI DASAR BAGI SPIRITUALITAS KRISTEN

“Doktrin trinitas bukan merupakan penjelasan literal atau penggabaran matematika Ilahi yang menentang logika manusia; sebaliknya doktrin trinitas merupakan cara Kristen untuk membuat sistematisasi penyataan Allah yang paling dasar.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 44)

Dalam bagian ini saya menangkap bahwa penulis ingin meluruskan pemahaman yang selama ini disalah pahami oleh banyak orang diluar Kristen termasuk orang Kristen sendiri mengenai Trinitas. Dijelaskan bahwa doktrin ini bukanlah untuk menggambarkan wujud Allah agar dapat diterima atau dibaca logika manusia, melainkan lebih kepada bagaimana peranan atau cara  Allah bekerja ditengah umat-Nya. Belakangan banyak orang Kristen yang ribut mengenai Trinitas dengan masing-masing pandangannya, dan saya mengaggap bahwa pembahasan mengenai Trinitas dalam buku ini cukup mewakili semua pemahaman yang timbul selama ini.

 “Doktrin tentang satu Allah dalam tiga pribadi adalah kepercayaan Kristen paling dasar yang membedakan konsep Kristen tentang Allah dari konsep monoteisme lainnya.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 44)

Tidak bisa dipungkiri kita sebagai orang Kristen selalu kesulitan menjawab berbagai tudingan orang-orang agama lain yang menganut paham monoteisme terhadap doktrin Trinitas. Kita mungkin akan berusaha menjelaskan dengan panjang lebar yang pada akhirnya tidak akan membuat mereka lantas bisa menerima. Dalam penjelasan ini, seharusnya kita sebagai orang Krsiten berani mengakui bahwa konsep monotheism yang kita pahami berbeda dengan orang diluar Kristen. Maka dengan demikian konflik perdebatan yang berkepanjangan dapat selesai, karena memang pada dasarnya kita berbeda dengan mereka. Namun yang ada adalah kita justru berusaha memaksakan konsep monoteisme yang kita pahami agar dapat diterima oleh mereka, padahal pada kenyataanya pemahaman kita berbeda dengan mereka.




BAB 3
DOSA DAN SIFAT MANUSIA

“Pemahaman yang lebih luas tentang sifat manusia tercermin dalam konsep yang lebih luas tentang dosa. Dosa bukan hanya sekadar tindakan individu secara terpisah atau tindakan terpisah dari individu-individu. Dosa juga menyinggung hubungan antar pribadi (seperti keterasingan) dan dan juga tatanan social (seperti kejahatan structural-ketidak adilan dan penindasan)
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 68)


Dalam bab ini diawali dengan penjelasan mengenai ilmu antropologi yang hanya fokus membahas mengenai kehidupan individu dan social manusia yang kemudian membentuk keterpisahan masing aspek dari manusia itu sendiri. Dan yang manarik disini adalah penulis justru membahas antropologi dalam jangkauan yang lebih luas, dalam hal ini dosa.

“Alkitab tidak membuat perbedaan natara dosa “yang dapat diampuni” dengan dosa dosa-dosa pembunuhan dan persinahan sebab semua berasal dari hati yang jahat.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 78 )

Dalam bagian ini penulis secara panjang lebar menjelaskan maksud-maksud dari beberapa bagian Alkitab yang seakan-akan membuat klasifikasi antara dosa yang dapat diampuni dan dosa yang tidak bisa diampuni. Dan penulis dengan gamblang menekankan bahwa upah dosa semuanya sama, yaitu maut. Tetapi yang menjadi penentu adalah bagaiamana manusia dalam menyikapi dosa yang ia perbuat, apakah bertobat atau justru tetap hidup dalam hawa nafsu yang akut, dalam keadaan inilah dosa tidak akan mungkin bisa diampuni. Dengan membaca bagian ini akan membuat kita semakin sadar akan dosa dan akibat yang ditimbulkan. Penulis juga menyadari bahwa problem terbesar bagi spiritualitas adalah dosa, oleh karena itu dosa harus dilawan secara tepat dan efektif.








BAB 4
KESELAMATAN DAN KEHIDUPAN KEMAJUAN ROHANI

“Karya keselamatan pada dasarnya merupakan karya Allah dalam sejarah manusia ; memanggil Abraham, membebaskn keturunannya dari perbuatan dan membuat perjanjian dengan mereka untuk menjadi umat Allah.
Penggenapan puncak perjanjian itu ada pada Yesus Kristus , yang kedadtanganNya merupakan eschaton (Ibr.1:2) dan kehidupanNya ditandai dengan ketaatan yang sempurna dan pengorbanan diri secara efektif, mendatangkan kebebasan dari perbudakan dosa, baik untuk orang Israel maupun penduduk dunia lainnya.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 100 )


Seringkali orang Kristen memisahkan sejarah dari proses keselamatan yang dikerjakan Allah. Sederhananya dapat ditandai dengan kebiasaan orang Kristen dalam mencomot ayat Alkitab tanpa proses eksegesa yang benar. Seakan-akan ayat tersebut murni ditujukan untuk mereka. Termasuk didalamnya ayat-ayat mengenai keselamatan seringkali dipandang sebagai miliki orang Kristen semata. Melalui pembahasan dalam bab ini kita seharusnya mulai merubah paradigma yang selama ini keliru, dengan cara memahami Alkitab secara utuh dan kontekstual.

“Doktrin tentang kesempurnaan Kristen melengkapi ciri esensial dari spiritualias Kristen. Kehidupan iman, yang dimulai dengan kita yang diterima Allah melalui Kristus , harus berlanjut untuk bertumbuh dalam kasih melalui saran berbagai disiplin. Kasih kepada Allah adalah satu-satunya tujuan yang dituju oleh semua disiplin asketik. Tetapi kasih kepada Allah ini selalu mengalir pada sesama.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 138)


Dalam bab ini penulis banyak membandingkan pemahaman tokoh-tokoh gereja seperti John Calvin dalam pandangannya mengenai keselamatan, kasih karunia dan kehidupan orang Kristen. Lalu penulis kemudian membuat pandangan-pandang tersebut dalam sebuah kesimpulan yang menarik bahwa pada akhirnya, kehidupan Kristen mengharuskan kita melalui disiplin-disiplin rohani yang muaranya pada  hidup yang sempurna, dimana dalah satunya kita mangasihi Allah yang kemudian tercermin dalam kasih terhadap sesama, dan berupaya hidup dalam kekudusan.



BAB 5
GEREJA SEBAGAI KOMUNITAS ORANG-ORANG KUDUS

“Orang kudus bukanlah seorang yang nilai kebajikannya berdiri sendiri terlepas dari tubuh. Orang kudus tidak “dikenal” dalam pengertian itu. Semakin sempurna orang kudus dalam kasih, makin besar identifikasinya dengan gereja. Makin dekat persatuannya dengan Allah, makin kuat ikatannya  dengan tubuh Kristus”.
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 135)


Banyak orang Kristen yang memahami bahwa hidup dalam kekudusan berarti harus hidup membiara. Menjauhkan diri dari kontak dengan dunia, termasuk juga sifat skeptis terhadap gereja lain misalnya. Namun disini penulis memberikan pernyataan yang cukup jelas bahwa kekudusan seseorang justru akan terlihat dan terukur melalui persekutuannya dengan gereja (bukan hanya gereja local, tetapi semua orang percaya sebagai tubuh Kristus).

“Gereja sungguh-sungguh merupakan gereja yang sebenarnya jika merayakan baptisan dan Ekaristi. Baptisan menyatukan anggota-anggota baru dalam dalam tubuh Kristus  dan Ekasristi menyatakan sifat komunal kehidupan Kristen. “ Esensi gereja sendiri bersifat hidup dan efektif. Kotbah harus dilihat dari dalam konteks yang lebi luas dari kehidupan gereja, yang secara esensial adalah Ekaristi. Kotbah harus mengacu pada dan meneguhkan kehidupan tersebut, bukan mengambil kehidupan itu untuk dirinya sendiri. Dalam kasus kotbah modern , segala sesuatu tergantung terutama pada keterampilan , kepribadian , dan penampilan pengkhotbah”.
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 149)


Tidak bisa dipungkiri bahwa gereja modern saat ini nyaris kehilangan identitasnya sebagai gereja sebagaimana dalam Kisah Rasul. Dimana sakramen dianggap tidak terlalu penting. Disini penulis menekankan bahwa selain kotbah, sakramen juga penting dipelihara dalam gereja termasuk dikalangan gereja modern sebagai identitas dari gereja itu sendiri. Jangan sampai identitas yang diwariskan oleh bapa-bapa gereja perlahan hilang dari gereja. Namun perlu digaris bawahi bahwa sakramen haruslah memiliki andil dalam kehidupan gereja, tidak hanya sebatas ritual yang dilakukan tanpa mengandung spirit untuk pertumbuhan kerohanian gereja.




SPIRITUAL THEOLOGI 2

BAB 6
TEOLOGI DAN KEHIDUPAN DOA

“Doa adalah tindakan pertama yang menghubungkan  doktrin dengan praktik, semua latihan yang lain sekedar merupakan perincian tindakan utama ini”.
(Simon Chan, Spiritual Theology 2, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 10)


Dalam bagian ini penulis menekankan pentingnya doa bagi setiap orang percaya. Penulis menyebut doa sebagai tanda kehidupan iman, dan berlangsung secra refleks dan alami sebagaimana tangisan seorang bayi yang baru lahir.  Banyak orang hebat dalam berteologi dan menggali firman, namun tidak memilki hubungan dengan Allah melalui doa. Padahal doa adalah peraturan pertama dari berteologi.

“Seluruh kehidupan orang Kristen dapat digambarkan sebagai doa. Kehidupan tersebut diwujudkan melalui perintah Paulus untuk berdoa terus menerus tanpa henti”.
(Simon Chan, Spiritual Theologi 2, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 28)

Seringkali kita memahami doa dalam ngertian yang sempit yakni saat kita berbicara kepada Allah dalam waktu-waktu tertentu. Menarik disini jika penulis menyebut bahwa seluruh kehidupan Kristen adalah doa. Ini berarti selama kehidupan ini masih ada, itu doa kepada Tuhan tidak akan pernah putus. Namun masalahanya adalah seringkali kehidupan kita tidak mencerminkan kehidupan sebagaimana layaknya orang Kristen, aau dengan kata lain tidak pantas untuk disebut doa. Oleh sebab itu, jika dalam pikiran sebagai orang Kristen kita menanamkan pemahaman bahwa hidup ini adalah doa, semestinya kita akan berupaya menjaga kehidupan kita sehingga layak disebut sebagai seuah doa kepada Tuhan. Sebab layakkah disebut doa bila kita hidup dalam dosa dan melanggar perintah Tuhan?






BAB 7
LATIHAN ROHANI BERPUSAT PADA ALLAH DAN DIRI SENDIRI


“Latihan merasakan kehadiran Allah, yang juga disebut sebagai doa rekoleksi terdiri dari kegiatan mengingat sesering mungkin bahwa Allah hadir dimana-mana, terutama pada kedalamanjiwa seseorang”.
(Simon Chan, Spiritual Theologi 2, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 34)


Dalam bab sebelumnya Penulis banyak membahas mengenai doa. Dan selain doa secara liturgis penulis juga menekankan bahwa kehidupan kita sepenuhnya adalah doa, Kita pun bisa saja berinteraksi degan Allah kapan saja dalam sepanjang keseharian dan rutinits kita setiap hari.  Menarik ketika dijelaskan mengenai rekoleksi dimana kita bisa merasakan hadirat Allah dimanampun dan dalam situasiapapun. Dan itu memerlukan latihan kebiasaan. Rekolesi tidak harus dengan cara-cara yang formal  namun dapat dilakukan dengan spontan dimana kita mengarahkan imajinasi kita ke sorga dan membuka hati agar Tuhan bebicara.

“Pandangan Alkitab mengenai kehendak Allah sangat berbeda. Menuruti kehendak Allah berarti menyatukan kehendak kita dengan kehendaknya dalam kasih. Mengenal apa yang dikehendaki Allah justru meningkatkan tanggung jwab kita, bukan menghilangkan”.
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 40)


Seringkali salah yang membuat kita termotivasi untuk berdoa kepada Tuhan adalah ingin meminta petunjuk sebelum melakukan sesuatu. Hal demikian tentu bukan hal yang salah, namun perlu ketahui bahwa keintiman dengan Allah justru akan memberikan kita pengertian tindakan mana yang tepat yang kita harus jalani. Penulis menekankan kasih kepada Allah sebagai kuncinya. Menurut penulis, “tidak mungkin engaku akan melakukan sesuatu yang jahat jika engaku mengasi Allah”. Mengasihi Allah berarti kita telah menyatu dengan Dia dan tindakan kita akan senantiasa selaras dengan Allah.






BAB 8
LATIHAN ROHANI BERFOKUS PADA FIRMAN

“Pembacaan Alkitab memandang Alkitab sebagai firman Allah yang tegas memanggil kita untuk respons yang tegas; oleh karena Alkitab melatih kita mengambil sikap rohani tertentu – keterbukaan kepada Allah, sikap. Kecenderungan sikap dasar ini merupakan tanah subur yang dapat menumbuhkan benih kebenaran. Tidak seperti pembacaan biasa, pembacaan rohani dapat untuk mempengaruhi hati, bukan mendapatkan informasi.”
(Simon Chan, Spiritual Theology, ANDI – Jogjakarta, 61-61)

Kebanyakan orang Kristen membaca Alkitab hanya untuk menambah informasi atau mencari sumber teology yang baru, sehingga sulit menemukan nilai-nilai rohani yang mempengaruhi spiritual dari dalamnya. Meski hal demikian bukan hal yang salah, namun pembacaan Alkitab juga harus dijadikan sebagai salah satu disiplin sebagaimana doa, meditasi dan renungan firman Tuhan. Penulis menyebut bahwa ketiganya adalah suatu yang tidak bisa dipisahkan.


“Kegiatan mengahafal Alkitab merupakan hal yang penting bagi kesejahteraan gereja modern, bahkan juga untuk kelangsungan hidupnya”
(Simon Chan, Spirituali Theology 2 - ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 67)

Tidak dapat dipungkiri kebiasaan menghafal ayat Alkitab dalam gereja khususnya dikalangan milenial saat ini sudah sangat jarang kita temui. Berbeda dengan orang-orang tua dahulu yang sangat telaten dan rajin dalam menghafalkan ayat-ayat Alkitab. Ironis memang, ditengah era digital saat ini kebiasaan baik ini perlahan ditinggalkan. Mungkin karena begitu mudahnya ayat-ayat tersebut diakses dengan perangkat digital sehingga membuat sebagian orang tidak perlu repot untuk menghafalnya.










BAB 9
LATIHAN ROHANI BERFOKUS PADA DUNIA

“Spiritualitas Kristen selalu mendorong orang Kristen untuk memandang keluar dirinya. Spiritual Kristen memandang dunia sebagai tempat dimana tindakan Allah yang penting terjadi. Tindakan  Allah ini mencapai puncaknya pada kedatangan Tuhan Yesus.”
(Spiritual Theology 2, Simon Chan ANDI Jogjakarta 2002, hal. 89)

Banyak orang Kristen yang bersikap skeptic terhdadap dunia, seakan dunia diluar mereka menjadi sesuatu yang menjijikkan dan bisa membuat mereka menjadi kehilangan kekudusan. Namun perlu diketahui bahwa dunia justru menjadi tolok ukur bagi pertumbuhan iman Kristen, atau menjadi sarana latihan untuk petumbuhan rohani Kristen.  Selain itu dunia luar juga menjadi “lahan” bagi orang Kristen untuk menunaikan tugas misi, bukan sebaliknya malah dijauhi.


“Persahabatan Kristen bersifat eksklusif dalam pengertian yang lain juga. Tidak perlu seberapa “terbuka” kita meghandaki suatu persahabatan , hal itu tidak bisa merupakan keterbukaan yang total. Ada kepentingan yang lebih yang lebih tinggi dalam persahabatan yang kudus, yaitu kehendak Allah.”
(Simon Chan, Spiritual Theology 2, ANDY Jogjakarta, 2002, Hal. 90)


Kaitannya dengan keberadaan gereja atau orang Kristen ditengah dunia, penulis menekankan pentingnya menjamin persahabatan dengan dunia luar. Namun perlu diingat bahwa kekudusan tetaplah menjadi prioritas utama. Lebih jauh penulis justru mendorong orang Kristen untuk memilki persahabatan yang bersifat terbuka, namun harus tetap mengedepankan aspek “kehendak Allah” dan bagaimana kita yang membawa pengaruh bagi dunia, bukan justru dunia yang mempengaruhi kita.









BAB 10
PERATURAN HIDUP

“Sebagai umat Kristen kita perlu menyatukan pekerjaan sekuler kita dengan kedalam peraturan kita, bukan sebaliknya., seperti yang sering kita lakukan . Pekerjan kita muncul lebih lebih dulu, dan kemudian kita mencoba memasukkan unsur-unsur religious (“kapan dan dimana kita  bisa menjalankannya!”) kedalam ekssistensi sekuler  secara mendasar.”
(Simon Chan, Spiritual Theology 2, ANDI Jogjakarta 2001, Hal. 106)

Dalam bab 10  penulis fokus pada pendisiplinan hidup kaitannya dengan hal-hal rohani untuk perkembangan spiritual kita sebagai orang Kristen. Dan bagian ini cukup menarik sebab tidak bisa dipungkiri kita cenderung lebih mengutamakan pekerjaan sekuler ketimbang dengan disiplin-disiplin rohani kita. Misalnya jam kerja tersurusun  dan ter-schedule dengan rapi, tetapi jam doa dan hubungan dengan Tuhan sama sekali tidak teratur, istilah sederhananya hanya jika sempat saja. Penulis menekankan pentingnya disiplin rohani bagi kita sebagai umat Kristen. Jika untuk urusan duniawi saja kita bisa disiplin, mengapa untuk hal-hal yang menyangkut kekelan kita tidak memiliki disiplin yang baik?

“Peraturan hidup berdasarkan defenisinya harus mencakup seluruh kehidupan. Hal itu harus merohanikan seluruh eksistensi kita. Ibadah yang ditetapkan setiap harinya hanya merupakan salah satu bagian dari peraturan pribadi.”
(Simon Chan, Spiritual Theology, ANDI ogjakarta 2002, hl. 110)

Disini penulis menggaris bawahi bahwa peraturan hidup bukan hanya sebatas membuat jadwal-jadwal doa atau saat teduh di waktu-waktu tertentu, melainkan seluruh kehidupan kita harus didisiplinkan layaknya sebuah ibadah atau dosa kepada Tuhan, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya. Jadi intinya adalah kita harus terbiasa mendisiplin diri dengan kehidupan-kehidupan yang berkenan kepada Allah.









BAB 11
MEMBEDAKAN ROH

“Kemampuan membedakan roh  menyiratkan  tingkat kedewasaan  atau kecakapan rohani. Kepekeaan rohani diasah melalui latihan yang terus menerus dalam mendengar Allah dan menaati suaranya.”
(Simon Chan, Spiritual Theology, ANDI Jogjakarta 2002, hal. 122)

Proses membedakan roh seringkali kita pahami terlalu dangkal, misalnya dalam peristiwa-peristiwa seperti manifestasi roh dan sebagainya, kita akan berusaha membedakan sumber dari manifestasi tersebut dari roh mana.
Disini penulis menjelaskan bahwa proses membedakan roh seharusnya terjadi secra terus menerus dalam kehidupan kita sepanjang waktu. Kemampuan membedakan kehendak Allah dan bukan kehendak Allah. Dan penulis menekankan bahwa hanya dengan pergaulan dengan Allah kita akan mengerti setiap kehendak-Nya.

“Membedakan roh merupakan proses yang tumbuh dari kehidupan dalam tubuh Kristus dan membantu memperdalam kehidupan. Melalui membedakan roh kita tumbuh, pada saat kita tumbuh, kita menjadi lebih mahir dalam mebedakan roh”
(Simon Chan, Spiritual Theology 2, ANDI Jogjakarta 2002, hal. 155-156)

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kita hanya mengartikan proses membedakan roh kaitannya dengan manifestasi. Padahal  justru pertumbuhan dalam tubuh Kristus lah yang kemudian membuat kita menjadi dewasa (mengerti setiap kehendak Allah) untuk bisa membedakan roh.














BAB 12
SENI PENGARAHAN ROHANI

“Pengarahan rohani merupakan hubungan dinamis yang ada antara dua orang dimana satu membantu yang lain untuk bertumbuh dalam kehidupan Kristen.”
(Simon Chan, Spiritual Theology, ANDI Jogjakarta 2002, hal. 158)

Dalam bab ini penulis menitik beratkan pada peranan seorang “mentor rohani” dalam perkembangan rohani seorang Kristen. Dalam hal ini seorang mentor rohani dituntut mampu mengarahkan kerohanian seseorang menjadi lebih lebih maju. Selain menjelaskan tentang peranan mentor disini kita juga belajar bahwa dalam segala hal dalam hiup kita memerlukan campur tangan orang lain, termasuk dalam hal perkembangan rohani, kita tidak dapat berjalan sendiri.

“Dogma bagi pemimpin rohani seperti peta bagi bagi musafir. Peta itu menggambarkan jalan yang aman bagi musafir  agar sampai ke tujuannya”.
(Simon Chan, Spirutal Theolog 2y, ANDI Jogjakarta 2002, hl. 178)

Disini penulis menekankan pentingnya seorang mentor atau pemimpin tidak hanya sebatas mengandalkan otoritasnya dalam mengarahkan kerohanian anggotanya, melainkan perlunya seorang mentor diperlengkapi dengan dogma atau pengajaran yang benar mengenai Allah, sehingga ia bisa menuntun anggotanya kepada jalan yang benar. Jangan justru seperti orang buta menuntun orang buta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar