TUGAS
TEOLOGI
PENTAKOSTA
BOOK
REPORT
Spiritual
Theology 1 dan 2
Dosen:
DR.
Junifrius Gultom
Disusun
Oleh:
KRISTANTO
LIMPA BUDA
N.I.M: ......
Identitas
Buku
Judul Buku : Spiritual Theology 1 dan 2 – Study Sistematis Tentang
Kehidupan Kristen
Pengarang : Simon Chan
Penerbit : ANDI Jogjakarta
Tahun Terbit : 2002
Tebal Halaman : 202 dan 201
BAB
1
TEOLOGI
ROHANI KRISTEN, SIFAT DAN KRITERIANYA
“Teologi sistematis memusatkan perhatian pada
konsep-konsep dan formulasi rasional dari pengalaman Kristen. Sedangkan teologi
rohani memusatkan perhatian pada pengalaman dibalik formulasi tersebut.”
(Simon Chan,
Spirutal Thelogy 1, ANDI Jogjakarta, hal. 13)
Dalam
bagian ini penulis memberi kita gambaran yang jelas mengenai perbedaan antara
teologi sistematika dengan teologi rohani. Tidak disangkal masih banyak orang
Kristen yang aktivitas rohaninya terkerangkeng dalam sesuatu yang bersifat
dogmatis yang merupakan warisan turun temurun dari gereja. Namun pada
kenyataannya kita melihat bahwa doktrin warisan tersebut tidak memberi dampak
yang signifikan bagi gereja untuk bertumbuh kearah Kristus sebagai inti dari
ilmu teologi. Dalam bagian ini penulis menekankan perlunya pengalaman spiritual
sebagai bagian dari teologi rohani yang akan mendorong seseorang mengaplikasikan
setiap formulasi teologi, misalnya Allah kasih, diaplikasikan melalui kehidupan
yang saling mengasihi.
“Sifat
komprehensif, koheren dan bisa membangkitkan semangat. Ketiganya biasanya
menentukan apa yang harus digolongkan sebagai teologi rohani yang baik”.
(Simon Chan, Spiritual Theology 1, ANDI,
Jogjakarta 2002, hal. 20)
Disini
penulis memilih tiga paham yakni paham kontekstual secara global, Injili dan
karismatik untuk melihat apakah dari
masing-masing paham tersebut memiliki kriteria material untuk sebuah teologi
rohani Kristen yang komprehensif, koheren dan bisa membangkitkan semangat. Disini
disajikan secara jelas mengenai peranan tiap-tiap paham khususnya Injili dan
karismatik yang notabene seringkali bertentangan. Maka ketika kita membaca
pemarapan penulis, kita akan menemukan masing-masing kepentingan dari paham
tersebut dalam kaitannya dengan teolog rohani Kristen.
BAB
2
DOKTRIN
KRISTEN TENTANG ALLAH SEBAGAI DASAR BAGI SPIRITUALITAS KRISTEN
“Doktrin
trinitas bukan merupakan penjelasan literal atau penggabaran matematika Ilahi
yang menentang logika manusia; sebaliknya doktrin trinitas merupakan cara
Kristen untuk membuat sistematisasi penyataan Allah yang paling dasar.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 44)
Dalam
bagian ini saya menangkap bahwa penulis ingin meluruskan pemahaman yang selama
ini disalah pahami oleh banyak orang diluar Kristen termasuk orang Kristen
sendiri mengenai Trinitas. Dijelaskan bahwa doktrin ini bukanlah untuk
menggambarkan wujud Allah agar dapat diterima atau dibaca logika manusia,
melainkan lebih kepada bagaimana peranan atau cara Allah bekerja ditengah umat-Nya. Belakangan
banyak orang Kristen yang ribut mengenai Trinitas dengan masing-masing pandangannya,
dan saya mengaggap bahwa pembahasan mengenai Trinitas dalam buku ini cukup
mewakili semua pemahaman yang timbul selama ini.
“Doktrin tentang satu Allah dalam tiga pribadi
adalah kepercayaan Kristen paling dasar yang membedakan konsep Kristen tentang
Allah dari konsep monoteisme lainnya.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 44)
Tidak
bisa dipungkiri kita sebagai orang Kristen selalu kesulitan menjawab berbagai
tudingan orang-orang agama lain yang menganut paham monoteisme terhadap doktrin
Trinitas. Kita mungkin akan berusaha menjelaskan dengan panjang lebar yang pada
akhirnya tidak akan membuat mereka lantas bisa menerima. Dalam penjelasan ini,
seharusnya kita sebagai orang Krsiten berani mengakui bahwa konsep monotheism
yang kita pahami berbeda dengan orang diluar Kristen. Maka dengan demikian
konflik perdebatan yang berkepanjangan dapat selesai, karena memang pada
dasarnya kita berbeda dengan mereka. Namun yang ada adalah kita justru berusaha
memaksakan konsep monoteisme yang kita pahami agar dapat diterima oleh mereka,
padahal pada kenyataanya pemahaman kita berbeda dengan mereka.
BAB
3
DOSA
DAN SIFAT MANUSIA
“Pemahaman
yang lebih luas tentang sifat manusia tercermin dalam konsep yang lebih luas
tentang dosa. Dosa bukan hanya sekadar tindakan individu secara terpisah atau
tindakan terpisah dari individu-individu. Dosa juga menyinggung hubungan antar
pribadi (seperti keterasingan) dan dan juga tatanan social (seperti kejahatan
structural-ketidak adilan dan penindasan)
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 68)
Dalam
bab ini diawali dengan penjelasan mengenai ilmu antropologi yang hanya fokus
membahas mengenai kehidupan individu dan social manusia yang kemudian membentuk
keterpisahan masing aspek dari manusia itu sendiri. Dan yang manarik disini
adalah penulis justru membahas antropologi dalam jangkauan yang lebih luas,
dalam hal ini dosa.
“Alkitab
tidak membuat perbedaan natara dosa “yang dapat diampuni” dengan dosa dosa-dosa
pembunuhan dan persinahan sebab semua berasal dari hati yang jahat.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI Jogjakarta
2002, Hal. 78 )
Dalam
bagian ini penulis secara panjang lebar menjelaskan maksud-maksud dari beberapa
bagian Alkitab yang seakan-akan membuat klasifikasi antara dosa yang dapat
diampuni dan dosa yang tidak bisa diampuni. Dan penulis dengan gamblang
menekankan bahwa upah dosa semuanya sama, yaitu maut. Tetapi yang menjadi
penentu adalah bagaiamana manusia dalam menyikapi dosa yang ia perbuat, apakah
bertobat atau justru tetap hidup dalam hawa nafsu yang akut, dalam keadaan
inilah dosa tidak akan mungkin bisa diampuni. Dengan membaca bagian ini akan
membuat kita semakin sadar akan dosa dan akibat yang ditimbulkan. Penulis juga
menyadari bahwa problem terbesar bagi spiritualitas adalah dosa, oleh karena
itu dosa harus dilawan secara tepat dan efektif.
BAB
4
KESELAMATAN
DAN KEHIDUPAN KEMAJUAN ROHANI
“Karya
keselamatan pada dasarnya merupakan karya Allah dalam sejarah manusia ; memanggil
Abraham, membebaskn keturunannya dari perbuatan dan membuat perjanjian dengan
mereka untuk menjadi umat Allah.
Penggenapan
puncak perjanjian itu ada pada Yesus Kristus , yang kedadtanganNya merupakan
eschaton (Ibr.1:2) dan kehidupanNya ditandai dengan ketaatan yang sempurna dan
pengorbanan diri secara efektif, mendatangkan kebebasan dari perbudakan dosa,
baik untuk orang Israel maupun penduduk dunia lainnya.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 100 )
Seringkali
orang Kristen memisahkan sejarah dari proses keselamatan yang dikerjakan Allah.
Sederhananya dapat ditandai dengan kebiasaan orang Kristen dalam mencomot ayat
Alkitab tanpa proses eksegesa yang benar. Seakan-akan ayat tersebut murni
ditujukan untuk mereka. Termasuk didalamnya ayat-ayat mengenai keselamatan
seringkali dipandang sebagai miliki orang Kristen semata. Melalui pembahasan
dalam bab ini kita seharusnya mulai merubah paradigma yang selama ini keliru, dengan
cara memahami Alkitab secara utuh dan kontekstual.
“Doktrin
tentang kesempurnaan Kristen melengkapi ciri esensial dari spiritualias
Kristen. Kehidupan iman, yang dimulai dengan kita yang diterima Allah melalui
Kristus , harus berlanjut untuk bertumbuh dalam kasih melalui saran berbagai
disiplin. Kasih kepada Allah adalah satu-satunya tujuan yang dituju oleh semua
disiplin asketik. Tetapi kasih kepada Allah ini selalu mengalir pada sesama.”
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 138)
Dalam
bab ini penulis banyak membandingkan pemahaman tokoh-tokoh gereja seperti John
Calvin dalam pandangannya mengenai keselamatan, kasih karunia dan kehidupan
orang Kristen. Lalu penulis kemudian membuat pandangan-pandang tersebut dalam
sebuah kesimpulan yang menarik bahwa pada akhirnya, kehidupan Kristen
mengharuskan kita melalui disiplin-disiplin rohani yang muaranya pada hidup yang sempurna, dimana dalah satunya
kita mangasihi Allah yang kemudian tercermin dalam kasih terhadap sesama, dan
berupaya hidup dalam kekudusan.
BAB
5
GEREJA
SEBAGAI KOMUNITAS ORANG-ORANG KUDUS
“Orang kudus
bukanlah seorang yang nilai kebajikannya berdiri sendiri terlepas dari tubuh.
Orang kudus tidak “dikenal” dalam pengertian itu. Semakin sempurna orang kudus
dalam kasih, makin besar identifikasinya dengan gereja. Makin dekat
persatuannya dengan Allah, makin kuat ikatannya
dengan tubuh Kristus”.
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 135)
Banyak
orang Kristen yang memahami bahwa hidup dalam kekudusan berarti harus hidup
membiara. Menjauhkan diri dari kontak dengan dunia, termasuk juga sifat skeptis
terhadap gereja lain misalnya. Namun disini penulis memberikan pernyataan yang
cukup jelas bahwa kekudusan seseorang justru akan terlihat dan terukur melalui
persekutuannya dengan gereja (bukan hanya gereja local, tetapi semua orang
percaya sebagai tubuh Kristus).
“Gereja
sungguh-sungguh merupakan gereja yang sebenarnya jika merayakan baptisan dan
Ekaristi. Baptisan menyatukan anggota-anggota baru dalam dalam tubuh
Kristus dan Ekasristi menyatakan sifat
komunal kehidupan Kristen. “ Esensi gereja sendiri bersifat hidup dan efektif.
Kotbah harus dilihat dari dalam konteks yang lebi luas dari kehidupan gereja,
yang secara esensial adalah Ekaristi. Kotbah harus mengacu pada dan meneguhkan
kehidupan tersebut, bukan mengambil kehidupan itu untuk dirinya sendiri. Dalam
kasus kotbah modern , segala sesuatu tergantung terutama pada keterampilan ,
kepribadian , dan penampilan pengkhotbah”.
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 149)
Tidak
bisa dipungkiri bahwa gereja modern saat ini nyaris kehilangan identitasnya sebagai
gereja sebagaimana dalam Kisah Rasul. Dimana sakramen dianggap tidak terlalu
penting. Disini penulis menekankan bahwa selain kotbah, sakramen juga penting
dipelihara dalam gereja termasuk dikalangan gereja modern sebagai identitas
dari gereja itu sendiri. Jangan sampai identitas yang diwariskan oleh bapa-bapa
gereja perlahan hilang dari gereja. Namun perlu digaris bawahi bahwa sakramen
haruslah memiliki andil dalam kehidupan gereja, tidak hanya sebatas ritual yang
dilakukan tanpa mengandung spirit untuk pertumbuhan kerohanian gereja.
SPIRITUAL
THEOLOGI 2
BAB
6
TEOLOGI
DAN KEHIDUPAN DOA
“Doa adalah
tindakan pertama yang menghubungkan
doktrin dengan praktik, semua latihan yang lain sekedar merupakan
perincian tindakan utama ini”.
(Simon Chan, Spiritual Theology 2, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 10)
Dalam
bagian ini penulis menekankan pentingnya doa bagi setiap orang percaya. Penulis
menyebut doa sebagai tanda kehidupan iman, dan berlangsung secra refleks dan
alami sebagaimana tangisan seorang bayi yang baru lahir. Banyak orang hebat dalam berteologi dan
menggali firman, namun tidak memilki hubungan dengan Allah melalui doa. Padahal
doa adalah peraturan pertama dari berteologi.
“Seluruh
kehidupan orang Kristen dapat digambarkan sebagai doa. Kehidupan tersebut
diwujudkan melalui perintah Paulus untuk berdoa terus menerus tanpa henti”.
(Simon Chan,
Spiritual Theologi 2, ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 28)
Seringkali
kita memahami doa dalam ngertian yang sempit yakni saat kita berbicara kepada
Allah dalam waktu-waktu tertentu. Menarik disini jika penulis menyebut bahwa
seluruh kehidupan Kristen adalah doa. Ini berarti selama kehidupan ini masih
ada, itu doa kepada Tuhan tidak akan pernah putus. Namun masalahanya adalah
seringkali kehidupan kita tidak mencerminkan kehidupan sebagaimana layaknya
orang Kristen, aau dengan kata lain tidak pantas untuk disebut doa. Oleh sebab
itu, jika dalam pikiran sebagai orang Kristen kita menanamkan pemahaman bahwa
hidup ini adalah doa, semestinya kita akan berupaya menjaga kehidupan kita
sehingga layak disebut sebagai seuah doa kepada Tuhan. Sebab layakkah disebut
doa bila kita hidup dalam dosa dan melanggar perintah Tuhan?
BAB
7
LATIHAN
ROHANI BERPUSAT PADA ALLAH DAN DIRI SENDIRI
“Latihan
merasakan kehadiran Allah, yang juga disebut sebagai doa rekoleksi terdiri dari
kegiatan mengingat sesering mungkin bahwa Allah hadir dimana-mana, terutama
pada kedalamanjiwa seseorang”.
(Simon Chan, Spiritual Theologi 2, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 34)
Dalam
bab sebelumnya Penulis banyak membahas mengenai doa. Dan selain doa secara
liturgis penulis juga menekankan bahwa kehidupan kita sepenuhnya adalah doa,
Kita pun bisa saja berinteraksi degan Allah kapan saja dalam sepanjang
keseharian dan rutinits kita setiap hari.
Menarik ketika dijelaskan mengenai rekoleksi dimana kita bisa merasakan
hadirat Allah dimanampun dan dalam situasiapapun. Dan itu memerlukan latihan
kebiasaan. Rekolesi tidak harus dengan cara-cara yang formal namun dapat dilakukan dengan spontan dimana
kita mengarahkan imajinasi kita ke sorga dan membuka hati agar Tuhan bebicara.
“Pandangan
Alkitab mengenai kehendak Allah sangat berbeda. Menuruti kehendak Allah berarti
menyatukan kehendak kita dengan kehendaknya dalam kasih. Mengenal apa yang dikehendaki
Allah justru meningkatkan tanggung jwab kita, bukan menghilangkan”.
(Simon Chan, Spiritual Theologi 1, ANDI
Jogjakarta 2002, Hal. 40)
Seringkali
salah yang membuat kita termotivasi untuk berdoa kepada Tuhan adalah ingin
meminta petunjuk sebelum melakukan sesuatu. Hal demikian tentu bukan hal yang
salah, namun perlu ketahui bahwa keintiman dengan Allah justru akan memberikan
kita pengertian tindakan mana yang tepat yang kita harus jalani. Penulis
menekankan kasih kepada Allah sebagai kuncinya. Menurut penulis, “tidak mungkin
engaku akan melakukan sesuatu yang jahat jika engaku mengasi Allah”. Mengasihi
Allah berarti kita telah menyatu dengan Dia dan tindakan kita akan senantiasa
selaras dengan Allah.
BAB
8
LATIHAN
ROHANI BERFOKUS PADA FIRMAN
“Pembacaan
Alkitab memandang Alkitab sebagai firman Allah yang tegas memanggil kita untuk
respons yang tegas; oleh karena Alkitab melatih kita mengambil sikap rohani
tertentu – keterbukaan kepada Allah, sikap. Kecenderungan sikap dasar ini
merupakan tanah subur yang dapat menumbuhkan benih kebenaran. Tidak seperti
pembacaan biasa, pembacaan rohani dapat untuk mempengaruhi hati, bukan
mendapatkan informasi.”
(Simon Chan, Spiritual Theology, ANDI – Jogjakarta,
61-61)
Kebanyakan
orang Kristen membaca Alkitab hanya untuk menambah informasi atau mencari
sumber teology yang baru, sehingga sulit menemukan nilai-nilai rohani yang
mempengaruhi spiritual dari dalamnya. Meski hal demikian bukan hal yang salah,
namun pembacaan Alkitab juga harus dijadikan sebagai salah satu disiplin
sebagaimana doa, meditasi dan renungan firman Tuhan. Penulis menyebut bahwa
ketiganya adalah suatu yang tidak bisa dipisahkan.
“Kegiatan
mengahafal Alkitab merupakan hal yang penting bagi kesejahteraan gereja modern,
bahkan juga untuk kelangsungan hidupnya”
(Simon Chan,
Spirituali Theology 2 - ANDI Jogjakarta 2002, Hal. 67)
Tidak
dapat dipungkiri kebiasaan menghafal ayat Alkitab dalam gereja khususnya dikalangan
milenial saat ini sudah sangat jarang kita temui. Berbeda dengan orang-orang
tua dahulu yang sangat telaten dan rajin dalam menghafalkan ayat-ayat Alkitab.
Ironis memang, ditengah era digital saat ini kebiasaan baik ini perlahan
ditinggalkan. Mungkin karena begitu mudahnya ayat-ayat tersebut diakses dengan
perangkat digital sehingga membuat sebagian orang tidak perlu repot untuk
menghafalnya.
BAB
9
LATIHAN
ROHANI BERFOKUS PADA DUNIA
“Spiritualitas
Kristen selalu mendorong orang Kristen untuk memandang keluar dirinya.
Spiritual Kristen memandang dunia sebagai tempat dimana tindakan Allah yang
penting terjadi. Tindakan Allah ini
mencapai puncaknya pada kedatangan Tuhan Yesus.”
(Spiritual Theology 2, Simon Chan ANDI
Jogjakarta 2002, hal. 89)
Banyak
orang Kristen yang bersikap skeptic terhdadap dunia, seakan dunia diluar mereka
menjadi sesuatu yang menjijikkan dan bisa membuat mereka menjadi kehilangan
kekudusan. Namun perlu diketahui bahwa dunia justru menjadi tolok ukur bagi
pertumbuhan iman Kristen, atau menjadi sarana latihan untuk petumbuhan rohani
Kristen. Selain itu dunia luar juga
menjadi “lahan” bagi orang Kristen untuk menunaikan tugas misi, bukan
sebaliknya malah dijauhi.
“Persahabatan
Kristen bersifat eksklusif dalam pengertian yang lain juga. Tidak perlu
seberapa “terbuka” kita meghandaki suatu persahabatan , hal itu tidak bisa
merupakan keterbukaan yang total. Ada kepentingan yang lebih yang lebih tinggi
dalam persahabatan yang kudus, yaitu kehendak Allah.”
(Simon Chan, Spiritual Theology 2, ANDY
Jogjakarta, 2002, Hal. 90)
Kaitannya
dengan keberadaan gereja atau orang Kristen ditengah dunia, penulis menekankan
pentingnya menjamin persahabatan dengan dunia luar. Namun perlu diingat bahwa
kekudusan tetaplah menjadi prioritas utama. Lebih jauh penulis justru mendorong
orang Kristen untuk memilki persahabatan yang bersifat terbuka, namun harus
tetap mengedepankan aspek “kehendak Allah” dan bagaimana kita yang membawa
pengaruh bagi dunia, bukan justru dunia yang mempengaruhi kita.
BAB
10
PERATURAN
HIDUP
“Sebagai
umat Kristen kita perlu menyatukan pekerjaan sekuler kita dengan kedalam
peraturan kita, bukan sebaliknya., seperti yang sering kita lakukan . Pekerjan
kita muncul lebih lebih dulu, dan kemudian kita mencoba memasukkan unsur-unsur
religious (“kapan dan dimana kita bisa
menjalankannya!”) kedalam ekssistensi sekuler
secara mendasar.”
(Simon Chan, Spiritual Theology 2, ANDI
Jogjakarta 2001, Hal. 106)
Dalam
bab 10 penulis fokus pada pendisiplinan
hidup kaitannya dengan hal-hal rohani untuk perkembangan spiritual kita sebagai
orang Kristen. Dan bagian ini cukup menarik sebab tidak bisa dipungkiri kita
cenderung lebih mengutamakan pekerjaan sekuler ketimbang dengan disiplin-disiplin
rohani kita. Misalnya jam kerja tersurusun
dan ter-schedule dengan rapi, tetapi jam doa dan hubungan dengan Tuhan
sama sekali tidak teratur, istilah sederhananya hanya jika sempat saja. Penulis
menekankan pentingnya disiplin rohani bagi kita sebagai umat Kristen. Jika
untuk urusan duniawi saja kita bisa disiplin, mengapa untuk hal-hal yang
menyangkut kekelan kita tidak memiliki disiplin yang baik?
“Peraturan
hidup berdasarkan defenisinya harus mencakup seluruh kehidupan. Hal itu harus merohanikan
seluruh eksistensi kita. Ibadah yang ditetapkan setiap harinya hanya merupakan
salah satu bagian dari peraturan pribadi.”
(Simon Chan, Spiritual Theology, ANDI
ogjakarta 2002, hl. 110)
Disini
penulis menggaris bawahi bahwa peraturan hidup bukan hanya sebatas membuat
jadwal-jadwal doa atau saat teduh di waktu-waktu tertentu, melainkan seluruh
kehidupan kita harus didisiplinkan layaknya sebuah ibadah atau dosa kepada
Tuhan, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya. Jadi intinya adalah kita harus
terbiasa mendisiplin diri dengan kehidupan-kehidupan yang berkenan kepada
Allah.
BAB
11
MEMBEDAKAN
ROH
“Kemampuan
membedakan roh menyiratkan tingkat kedewasaan atau kecakapan rohani. Kepekeaan rohani
diasah melalui latihan yang terus menerus dalam mendengar Allah dan menaati
suaranya.”
(Simon Chan, Spiritual Theology, ANDI
Jogjakarta 2002, hal. 122)
Proses
membedakan roh seringkali kita pahami terlalu dangkal, misalnya dalam
peristiwa-peristiwa seperti manifestasi roh dan sebagainya, kita akan berusaha
membedakan sumber dari manifestasi tersebut dari roh mana.
Disini
penulis menjelaskan bahwa proses membedakan roh seharusnya terjadi secra terus
menerus dalam kehidupan kita sepanjang waktu. Kemampuan membedakan kehendak
Allah dan bukan kehendak Allah. Dan penulis menekankan bahwa hanya dengan
pergaulan dengan Allah kita akan mengerti setiap kehendak-Nya.
“Membedakan
roh merupakan proses yang tumbuh dari kehidupan dalam tubuh Kristus dan
membantu memperdalam kehidupan. Melalui membedakan roh kita tumbuh, pada saat
kita tumbuh, kita menjadi lebih mahir dalam mebedakan roh”
(Simon Chan, Spiritual Theology 2, ANDI
Jogjakarta 2002, hal. 155-156)
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa kita hanya mengartikan proses membedakan roh
kaitannya dengan manifestasi. Padahal justru
pertumbuhan dalam tubuh Kristus lah yang kemudian membuat kita menjadi dewasa
(mengerti setiap kehendak Allah) untuk bisa membedakan roh.
BAB
12
SENI
PENGARAHAN ROHANI
“Pengarahan
rohani merupakan hubungan dinamis yang ada antara dua orang dimana satu
membantu yang lain untuk bertumbuh dalam kehidupan Kristen.”
(Simon Chan, Spiritual Theology, ANDI
Jogjakarta 2002, hal. 158)
Dalam
bab ini penulis menitik beratkan pada peranan seorang “mentor rohani” dalam
perkembangan rohani seorang Kristen. Dalam hal ini seorang mentor rohani
dituntut mampu mengarahkan kerohanian seseorang menjadi lebih lebih maju. Selain
menjelaskan tentang peranan mentor disini kita juga belajar bahwa dalam segala
hal dalam hiup kita memerlukan campur tangan orang lain, termasuk dalam hal
perkembangan rohani, kita tidak dapat berjalan sendiri.
“Dogma bagi
pemimpin rohani seperti peta bagi bagi musafir. Peta itu menggambarkan jalan
yang aman bagi musafir agar sampai ke
tujuannya”.
(Simon Chan, Spirutal Theolog 2y, ANDI
Jogjakarta 2002, hl. 178)
Disini
penulis menekankan pentingnya seorang mentor atau pemimpin tidak hanya sebatas
mengandalkan otoritasnya dalam mengarahkan kerohanian anggotanya, melainkan
perlunya seorang mentor diperlengkapi dengan dogma atau pengajaran yang benar
mengenai Allah, sehingga ia bisa menuntun anggotanya kepada jalan yang benar.
Jangan justru seperti orang buta menuntun orang buta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar