Rabu, 17 Juli 2019

Curhatan Dari Jauh untuk Jemaatku


Pertama-tama saya mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kepala Gereja yang telah memelihara jemaat-Nya hingga kini dalam usianya yang ke 80 tahun. Sebuah perjalanan waktu yang cukup panjang. Meski demikian jemaat Bambangbuda tetap mampu menjaga konsistensi ajaran dan sesatuan jemaat dengan baik, dan tentu dalam hal ini saya pun turut menyatakan kebanggaan kepada para pejabat gereja yang berjerih payah selama delapan dasawarsa mengawal pekerjaan Tuhan ini dengan baik
Saya sadar dalam tulisan ini mungkin banyak menyalahi kaidah-kaidah penulisan yang benar, seperti istilah orang Bambam “täppe’ lako täppe’ diomai”, bahkan saya sendiri bingung mau pake judul apa untuk tulisan ini, mohon dimaklumi karena tulisan ini murni hanyalah ungkapan perasaan saya bertepatan dengan moment yang berbahagia ini. Dan mohon maaf bila ada hal-hal yang akan saya tulis membuat kita kurang nyaman, ini bukan karena saya bermaksud menjatuhkan, atau merasa lebih hebat, tetapi sebagai bagian dari jemaat Bambngbuda, saya merasa bangga bila memberi sumbangsi berupa masukan kepada kita semua, yang pada akhirnya muaranya tetap kepada kemuliaan Yesus Kristus Tuhan kita.

Saya memulai tulisan ini dengan berkata bahwa kemajuan jemaat tidak bisa dinilai hanya dari kacamata jumlah jemaat yang banyak dan mapan secara ekonomi, gedung gereja dan fasilitas yang besar, tetapi bagaimana jemaat menjadi dewasa secara rohani, bertumbuh dalam iman dan pengenalan mereka tentang Kristus, yang selanjutnya tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Sedikit mengulas pesan-pesan dari almarhum orang tua Marthinus Djinna diawal tahun 2016 sebelum kembali ke Jakarta. Ketika itu saya menyempatkan diri untuk berkunjung sekaligus pamit, dan diluar dugaan itu menjadi pertemuan saya yang terakhir dengan beliau. Bagi saya, beliau adalah sosok yang cukup berjasa dalam sepanjang kehidupan saya. Dari  Sekolah Minggu sampai masa pemuda, beliau banyak memberi pelajaran bagi kami dan saya khususnya.
Salah satu hal yang diungkapkan beliau saat itu adalah bahwa jemaat Bambangbuda adalah jemaat yang sangat diberkati Tuhan, dan saya pun sangat mengamini hal tersebut. Lebih lanjut beliau bercerita bagaimana jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam jemaat Bambangbuda beberapa tahun lalu hanya bisa dihitung jari. Namun seiring berjalannya waktu, atas berkat  Tuhan tentunya, jumlah PNS dalam jemaat saat ini sudah cukup banyak. (saya lupa jumlah angka persis yang disebut beliau saat itu).
Lebih lanjut beliau saat itu sempat menyatakan kekwatirannya terhadap masuknya paham atau aliran lain, yang tentu menjadi ancaman bagi kesatuan jemaat yang sudah terpelihara selama ini. Saya kemudian mencoba mencerna apa maksud beliau dibalik ungkapan tersebut. Lalu kemudian saya mengerti bahwa sebagai seorang yang sangat sepuh dalam jemaat dan masyarakat Bambangbuda, sangatlah wajar bila beliau cukup menjaga marwah dan ajaran yang berlaku dalam jemaat.
Betapa tidak, beliau mungkin sadar bahwa sosok yang duduk dihadapannya saat itu adalah sosok yang patut diwaspadai. Seseorang yang dahulu hanyalah anak ingusan yang tidak tahu apa-apa, lalu karena nasib semata membawanya ke perantauan dan kelak akan kembali dan berubah menjadi benalu dalam jemaat, dengan pemahaman teology yang baru lalu kemudian mendirikan gereja dengan aliran yang baru pula.  Ya pentakosta, aliran yang sesat itu! Mungkin narasi ini terlalu lebay, dan saya pun yakin beliau tidak mungkin sejauh itu mencurigai saya. Tetapi paling tidak saya cukup banyak menampung bahkan cukup kenyang mendengar  vonis orang-orang kepada saya. Tetapi disini saya tidak akan membela diri ataupun berusaha menyerang balik, tetapi biarlah waktu yang mejawab semuanya.
Dan singkat cerita, saya kemudian berupaya meyakinkan beliau bahwa saya lahir dan besar ditengah jemaat Bambangbuda. Saya mengenal Kristus sejak kecil dari guru-guru Sekolah Minggu di Bambangbuda, dan sampai dewasa pun firman yang membuat saya kuat berpegang pada Injil sampai sekarang, semua dari jemaat ini. Dan sedikitpun tidak pernah terbersit dalam hati untuk berpindah dari ajaran yang saya terima sejak kecil.  Saya cukup bangga dengan adanya orang tua yang begitu care seperti beliau. Sebagaimana seorang bapak menasihati anaknya, demikian beliau terhadap saya. Dalam jaman seperti sekarang, tidak banyak orang yang mempunyai hati, menaruh peduli terhadap keadaan sekeliling.
Sebagai orang tua dalam jemaat tentu wajar jika kemudian timbul perasaan waspada, jangan sampai jemaat Bambangbuda yang besar kemudian mengikuti jejak jemaat-jemaat sekitar yang terpecah hanya karena perbuatan segelintir orang yang membawa paham dan ajaran baru dalam jemaat lalu kemudian membentuk perkotak-kotakan dalam jemaat yang sebelumnya satu.
Saya tidak mempersalahkan atau menuding yang bukan-bukan teman-teman dari denominasi lain yang berupaya menanamkan pemahaman yang baru dalam lingkup wilayah kita, namun sebagai catatan jangan sampai jemaat yang tadinya satu kemudian terpecah hanya karena perbedaan dogma yang kita ajarkan. Jangan sampai niat baik kita untuk memberi pemahaman dan ajaran baru justru membuat kesatuan tubuh Kristus menjadi tercabik-cabik. Klaim membawa perubahan dan kelahiran baru bagi jemaat tidak melulu harus dengan membuat denominasi baru dan memecah jemaat yang sudah ada. Ada banyak cara yang lebih elegan dapat dilakukan, mungkin pendekatan-pendekatan teologys dengan para pejabat gereja, diskusi dan sebagainya. Sejatinya memberitakan injil yang benar bukanlah kepada orang yang sudah mengenal dan mengerti Injil, tetapi bagi jiwa-jiwa yang belum tersentuh oleh pekabaran injil kebenaran itu sendiri.
Pengalaman saya selama terjun dalam dunia pantekosta, para pemimpin, entah itu dosen, pendeta maupun mentor-mentor rohani selalu berpesan,  jangan memancing ikan dikolam orang lain. Dengan kata lain jangan mengambil jiwa yang sudah terikat dalam suatu gereja local kemudian memindahkan ke gereja atau jemaat sendiri, melainkan pergi dan jangkau jiwa yang benar-benar belum mengenal Yesus.
Kekeliruan yang sering saya lihat dikalangan teman-teman pentakostal yang menginjil disuatu daerah adalah klaim bahwa merekalah yang paling Alkitabiah, dan hanya mereka yang penuh dengan Roh Kudus. Padahal ratusan bahkan ribuan Tahun Allah bekerja dan eksis menyatakan kuasa-Nya ditengah-tengah gereja secara universal tanpa melihat denominasi atau aliran tertentu.
Lalu inti dari yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah, mungkin Bpk. Marthinus Djinna hanya satu dari sekian banyak warga jemaat yang memilki pemikiran bahwa saya mungkin telah menyimpang, sesat dan sebagainya. Dan hal tersebut sangat saya pahami, mengingat jalur pendidikan teology yang saya dalami selama ini adalah dari aliran pentakosta. Bahkan saat ini saya sedang berjuang belajar di sekolah beraliran kharismatik, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai kelompok bidat dan sesat. Tetapi saya tidak mempersoalkan penilaian orang seperti apa, sebab masing-masing orang bebas menilai sesuatu sesuai dengan apa yang ia pahami. Kembali lagi, mengenai sesatnya dan bagaimana, biar waktu yang menjawab.
Lalu pertanyaanya apakah saya benar-benar telah meninggalkan asas pengajaran yang saya terima dari kecil? Disini saya dengan tegas menyatakan tidak! Lalu bagaimana dengan pendidikan dan pelayanan saya selama ini? Apakah saya bermuka dua? Terlalu panjang untuk menjawab itu. Intinya saya tetap berkeyakinan bahwa Allah bekerja dalam gereja secara universal, jadi sayapun bebas melayani dan menimbah ilmu di gereja dan aliran manapun, tanpa dhantui perasaan berdosa atau takut sesat. Mengenai penilaian orang, itu suka-suka mereka, i dont't care!
 Dan tentu banyak yang menjadi alasan mengapa kemudian saya memilih untuk  saat ini focus digereja kalangan Pentakostal?  Salah satunya mungkin karena latar belakang ekonomi keluarga kami yang tidak memungkinkan untuk belajar di sekolah yang berlatar belakang injili/ protestan. Bukan rahasia lagi bahwa biaya untuk sekedar belajar sekolah-sekolah dan STT aliran protestan sangat tinggi, sehingga orang-orang yang ekonominya pas-pasan seperti kami hanya bisa gigit jari.
Berbeda dengan sekolah-sekolah dibawah nauangan gereja aliran Pentakosta, yang relative lebih murah dibandingkan sekolah-sekolah protestan. Bahkan saya tahu banyak dari sekolah-sekolah aliran Pantekosta yang justru merekrut anak-anak muda dari pelosok dan dikuliahkan secara gratis, jadi itu salah satunya.

Sebelum mengutarakan alasan selanjutnya, mungkin kita tidak asing lagi dengan istilah anak muda jaman now yaitu “kurang piknik”
Saya melihat hamba-hamba Tuhan dalam jemaat kita dan GTM umumnya masih banyak yang (maaf) kurang piknik. Ini bukan istilah yang bersifat satire, atau menjelek-jelekkan hamba-hamba Tuhan, tetapi ini gambaran bahwa kebanyakan pelayan-pelayan dalam gereja kita masih kurang membuka mata secara luas dan melihat perbandingan ke gereja-gereja lain. Bagaimana gereja lain bisa maju, bukan hanya dalam hal management gereja, tetapi juga jemaat yang benar-benar bertumbuh rohaninya dengan baik. Bagaimana pengetahuan Alkitab yang memadai, perkembangan teology secara kontekstual yang berkembang mengikuti jaman, semua itu jujur, kita masih sangat kurang. Yang ada adalah kita hanya berkutat terhadap masalah-masalah dalam jemaat, tidak boleh ini, tidak boleh itu, harus begini harus begitu. Kita terkungkung dalam sebuah doktrin yang kaku dan monoton, skeptis dan enggan untuk bersentuhan dengan denominasi lain dengan alasan menjaga ortodoksi. 
Mohon untuk dipahami bahwa ini bukan berarti kita harus mengadopsi teologi gereja lain, tetapi paling tidak kita memiliki perbandingan, bila perlu yang baik kita ambil, yang melenceng, kita jadikan pelajaran. Tidak ada satupun gereja atau denominasi yang benar-benar sempurna, itulah sebabnya gereja dituntut untuk saling melengkapi satu dengan yang lain, sampai gereja sebagai tubuh Kristus tersusun rapih dan sempurna.

Lalu bagaimana dengan kerohanian sebagai jemaat besar, adakah kita mengalami kemajuan? Tentu kita harus berani mengakui bahwa kita masih jauh. Sebuah contoh ini saja, bahwa terbukti kasus hamil diluar nikah masih terus mewarnai kehidupan anak-anak muda dalam jemaat kita.   Ini saya tidak sedang memvonis atau bermaksud menjatuhkan maupun merendahkan martabat jemaat saya sendiri, atau sedang menghakimi dan mempermalukan seseorang atau keluarga tertentu. Dan kita tidak perlu menjadi baper dan tersinggung untuk hal ini. Jika harus tersinggung, mari kita tersinggung bersama-sama. Kasus ini sudah umum dan siapapun dalam jemaat, masing-masing kita pernah mengalaminya. Karena itu, ini adalah kenyataan yang harus kita sadari dan gumuli bersama-sama. Tidak perlu merasa malu mengakui, karena ini menyangkut kebaikan kita bersama dan generasi jemaat kita kedepannya. Kita mestinya membuka mata lalu bertanya ada apa? Mengapa generasi kita seperti ini, apa tindakan yang harus kita lakukan? Kita jangan berlaku pasif dan bermasa bodoh, seakan pasrah dengan keadaan. Lalu solusinya bagaimana? Tentu kita tidak akan menemukan solusi yang tepat, tetapi akar masalahnya perlu kita ketahui. Kurangnya pengawasan oang tua? Bisa jadi. Kurangnya disiplin dalam jemaat? bisa jadi demikian! Itu semua harus kita pikirkan.
Sedikit mengenai disiplin, bahwa semenjak saya berbaur ditengah jemaat aliran Pentakosta, saya melihat banyak hal yang sangat baik dalam hal pemuridan dan disiplin bagi jemaat. Sebagai contoh, para pendeta aliran pentaskosta tidak akan berani memberkati pasangan yang bermasalah, entah itu pasangan hamil luar nikah, maupun pasangan bermasalah lainnya seperti status bergereja yang tidak jelas. Bagi mereka memberkati pasangan demikian didalam suatu pernikahan kudus adalah pelanggaran berat, bukan hanya kepada lembaga gereja tetapi juga kepada Tuhan. Bagaimana pun pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan kudus dihadapan Tuhan yang harus dijaga kesucian dan kekudusannya.
Sementara dalam jemaat kita, saya melihat bahwa hal demikian bukan menjadi masalah yang berarti, sepanjang semua yang menyangkut administrasi gerejawi terpenuhi. Saya kurang mengerti mengapa demikian, tetapi kebanyakan hamba-hamba Tuhan kita seringkali terbentur dengan slogan “jangan menghakimi”. Hal lain yang menjadi kendala adalah aspek "kekeluargaan" yang tarlalu kuat mengikat. Sehingga praktek "ma'kamase bombo" sudah menjadi hal yang biasa bagi para pelayan gereja kita.  
Saya cukup mengerti bahwa posisi seorang pelayan Tuhan dalam kasus ini benar-benar sulit. Mengendepankan aspek kekeluargaan atau menegakkan disiplin rohani, dan itu memang butuh seorang hamba Tuhan yang berintegritas. Dan kebanyakan memang pada akhirnya pelayan-pelayan gereja kita lebih memilih  mengedepankan aspek kekeluargaan, atau dengan kata lain cari aman. Yah sudah!  
Lalu bagaimana dengan tata tertib gerejawi? Memang benar ini bentuk pendisiplinan, tetapi tata tertib tersebut pada kenyataannya hanya bersifat formalitas semata, sehingga sama sekali tidak memberi efek yang signifikan bagi kasus-kasus seperti ini. Toh semua pada akhirnya bisa diberkati koq, mungkin itu sebagian pemikiran orang.
Jika dibandingkan dengan Jakarta, kota yang rentan seks bebas, pergaulan bebas, narkoba dan lain-lain bagi anak muda, tetapi saya melihat jarang bahkan belum pernah terjadi anak-anak muda gereja dimana kami bergerja jatuh dalam dosa perzinahan. Mengapa, karena disiplin.  Sejak dini mereka sudah ditanamkan bahwa jatuh dalam perzinahan samapi hamil diluar nikah berarti menjauhkan diri dari pelayanan-pelayanan gerejawi seperti penikahan dan sebagainya. Dan bagi mereka, adalah aib jika menikah tanpa pemberkatan di gereja. Mungkin ada sebagian yang menilai bahwa hal tersebut berlebihan dan melanggar prinsip kasih, tetapi buktinya kasus-kasus seperti hamil diluar nikah jarang bahkan belum pernah terjadi.
 Saya rasa terlalu panjang jika saya harus mengurai satu-persatu dan ini mungkin yang terkahir. Bahwa saya melihat antusias kaum Pentakostal dalam beribadah sangat luar biasa. Bagaimana respeknya terhadap firman Tuhan, serta ekspresi yang benar-benar lepas dalam memuji Tuhan. Sementara kita, yah jawab sendiri, merokok dalam gereja? Yes, Ngobrol? Yah! Kita masih jauh dari kesadaran akan hadirat Allah dalam ibadah yang harus dihormati secara kusyuk. 
Selain itu kita harus mengakui dan berani angkat jempol bahwa perkembangan kekristenan di Indonesia sebagian besar merupakan sumbangsi dari gereja aliran pentakosta. Lagu-lagu rohani kontemporer, kebaktian-kebaktian kebangunan rohani yang membuat jutaan orang menerima Kristus, semua dari mereka. Pembicara-pembicara rohani terkenal yang  menghiasai layar televisi Indonesia saat ini dari mana? Dari aliran pentakosta!

Sementara kita hanya duduk manis sebagai penonton, asik sendiri sembari jadi komentator, wah ini sesat, itu sesat! Sampai Tuhan datang kita masih begitu-begitu saja. Sementara gereja-gereja lain sibuk menginjil kemana-mana, melakukan pelayanan misi dan sosial bagi masyarakat pelosok-pelosok negeri tanpa memandang gereja, agama dan suku manapun. Dan  sekali lagi kita hanya sebagai penonton! Ladang sudah menguning dan siap dituai, tetapi pekerjanya sedikit, karena pekerjanya sibuk jadi komentator. Mestinya masih banyak lagi hal yang ingin kutulis, tapi saya merasa tulisan saya sudah melenceng telalu jauh. Jadi kembali kepada pokok masalah apakah saya berpaling? Jawabnya saya hanya lagi piknik, dah itu saja. 

Dirgahayu 80 tahun Bambangbuda, menjadi jemaat yang berkembang dan bertumbuh dalam Kristus. Tuhan memberkati.
Shalom!
Jakarta, 18 Juli 2019
                                                                                                         KLB












Tidak ada komentar:

Posting Komentar