Pertama-tama saya mengucap syukur kepada
Tuhan Yesus Kepala Gereja yang telah memelihara jemaat-Nya hingga kini dalam
usianya yang ke 80 tahun. Sebuah perjalanan waktu yang cukup panjang. Meski
demikian jemaat Bambangbuda tetap mampu menjaga konsistensi ajaran dan
sesatuan jemaat dengan baik, dan tentu dalam hal ini saya pun turut menyatakan
kebanggaan kepada para pejabat gereja yang berjerih payah selama delapan
dasawarsa mengawal pekerjaan Tuhan ini dengan baik
Saya sadar dalam tulisan ini mungkin banyak
menyalahi kaidah-kaidah penulisan yang benar, seperti istilah orang Bambam “täppe’ lako täppe’ diomai”, bahkan saya sendiri bingung mau pake judul apa untuk tulisan ini, mohon
dimaklumi karena tulisan ini murni hanyalah ungkapan perasaan saya bertepatan dengan
moment yang berbahagia ini. Dan mohon maaf bila ada hal-hal yang akan
saya tulis membuat kita kurang nyaman, ini bukan karena saya bermaksud
menjatuhkan, atau merasa lebih hebat, tetapi sebagai bagian dari jemaat Bambngbuda, saya merasa bangga bila memberi sumbangsi berupa masukan kepada kita semua, yang pada akhirnya muaranya tetap kepada kemuliaan Yesus Kristus Tuhan kita.
Saya memulai tulisan ini dengan berkata bahwa
kemajuan jemaat tidak bisa dinilai hanya dari kacamata jumlah jemaat yang banyak
dan mapan secara ekonomi, gedung gereja dan fasilitas yang besar, tetapi
bagaimana jemaat menjadi dewasa secara rohani, bertumbuh dalam iman dan pengenalan
mereka tentang Kristus, yang selanjutnya tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Sedikit mengulas pesan-pesan dari almarhum
orang tua Marthinus Djinna diawal tahun 2016 sebelum kembali ke Jakarta. Ketika
itu saya menyempatkan diri untuk berkunjung sekaligus pamit, dan diluar dugaan itu
menjadi pertemuan saya yang terakhir dengan beliau. Bagi saya, beliau adalah
sosok yang cukup berjasa dalam sepanjang kehidupan saya. Dari Sekolah Minggu sampai masa pemuda, beliau banyak
memberi pelajaran bagi kami dan saya khususnya.
Salah satu hal yang diungkapkan beliau saat
itu adalah bahwa jemaat Bambangbuda adalah jemaat yang sangat diberkati Tuhan, dan
saya pun sangat mengamini hal tersebut. Lebih lanjut beliau bercerita bagaimana
jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam jemaat Bambangbuda beberapa tahun lalu
hanya bisa dihitung jari. Namun seiring berjalannya waktu, atas berkat Tuhan tentunya, jumlah PNS dalam jemaat saat
ini sudah cukup banyak. (saya lupa jumlah
angka persis yang disebut beliau saat itu).
Lebih lanjut beliau saat itu sempat
menyatakan kekwatirannya terhadap masuknya paham atau aliran lain, yang tentu
menjadi ancaman bagi kesatuan jemaat yang sudah terpelihara selama ini. Saya
kemudian mencoba mencerna apa maksud beliau dibalik ungkapan tersebut. Lalu
kemudian saya mengerti bahwa sebagai seorang yang sangat sepuh dalam jemaat dan
masyarakat Bambangbuda, sangatlah wajar bila beliau cukup menjaga marwah dan ajaran yang berlaku dalam jemaat.
Betapa tidak, beliau mungkin sadar bahwa
sosok yang duduk dihadapannya saat itu adalah sosok yang patut diwaspadai.
Seseorang yang dahulu hanyalah anak ingusan yang tidak tahu apa-apa, lalu karena
nasib semata membawanya ke perantauan dan kelak akan kembali dan berubah
menjadi benalu dalam jemaat, dengan pemahaman teology yang baru lalu kemudian
mendirikan gereja dengan aliran yang baru pula.
Ya pentakosta, aliran yang sesat itu! Mungkin narasi ini terlalu lebay,
dan saya pun yakin beliau tidak mungkin sejauh itu mencurigai saya. Tetapi
paling tidak saya cukup banyak menampung bahkan cukup kenyang mendengar vonis orang-orang kepada saya. Tetapi disini
saya tidak akan membela diri ataupun berusaha menyerang balik, tetapi biarlah
waktu yang mejawab semuanya.
Dan singkat cerita, saya kemudian berupaya
meyakinkan beliau bahwa saya lahir dan besar ditengah jemaat Bambangbuda. Saya
mengenal Kristus sejak kecil dari guru-guru Sekolah Minggu di Bambangbuda, dan
sampai dewasa pun firman yang membuat saya kuat berpegang pada Injil sampai sekarang, semua
dari jemaat ini. Dan sedikitpun tidak pernah terbersit dalam hati untuk
berpindah dari ajaran yang saya terima sejak kecil. Saya cukup bangga dengan adanya orang tua yang
begitu care seperti beliau. Sebagaimana seorang bapak menasihati anaknya,
demikian beliau terhadap saya. Dalam jaman seperti sekarang, tidak banyak orang
yang mempunyai hati, menaruh peduli terhadap keadaan sekeliling.
Sebagai orang tua dalam jemaat tentu wajar
jika kemudian timbul perasaan waspada, jangan sampai jemaat Bambangbuda yang
besar kemudian mengikuti jejak jemaat-jemaat sekitar yang terpecah hanya karena
perbuatan segelintir orang yang membawa paham dan ajaran baru dalam jemaat lalu
kemudian membentuk perkotak-kotakan dalam jemaat yang sebelumnya satu.
Saya tidak mempersalahkan atau menuding yang
bukan-bukan teman-teman dari denominasi lain yang berupaya menanamkan pemahaman
yang baru dalam lingkup wilayah kita, namun sebagai catatan jangan sampai
jemaat yang tadinya satu kemudian terpecah hanya karena perbedaan dogma yang kita ajarkan. Jangan
sampai niat baik kita untuk memberi pemahaman dan ajaran baru justru membuat kesatuan tubuh Kristus menjadi tercabik-cabik.
Klaim membawa perubahan dan kelahiran baru bagi jemaat tidak melulu harus
dengan membuat denominasi baru dan memecah jemaat yang sudah ada. Ada banyak
cara yang lebih elegan dapat dilakukan, mungkin pendekatan-pendekatan teologys
dengan para pejabat gereja, diskusi dan sebagainya. Sejatinya memberitakan
injil yang benar bukanlah kepada orang yang sudah mengenal dan mengerti Injil,
tetapi bagi jiwa-jiwa yang belum tersentuh oleh pekabaran injil kebenaran itu
sendiri.
Pengalaman saya selama terjun dalam dunia
pantekosta, para pemimpin, entah itu dosen, pendeta maupun mentor-mentor rohani
selalu berpesan, jangan memancing
ikan dikolam orang lain. Dengan kata lain jangan mengambil jiwa yang sudah
terikat dalam suatu gereja local kemudian memindahkan ke gereja atau jemaat
sendiri, melainkan pergi dan jangkau jiwa yang benar-benar belum mengenal
Yesus.
Kekeliruan yang sering saya lihat dikalangan
teman-teman pentakostal yang menginjil disuatu daerah adalah klaim bahwa merekalah
yang paling Alkitabiah, dan hanya mereka yang penuh dengan Roh Kudus. Padahal ratusan
bahkan ribuan Tahun Allah bekerja dan eksis menyatakan kuasa-Nya ditengah-tengah
gereja secara universal tanpa melihat denominasi atau aliran tertentu.
Lalu inti dari yang ingin saya sampaikan
dalam tulisan ini adalah, mungkin Bpk. Marthinus Djinna hanya satu dari
sekian banyak warga jemaat yang memilki pemikiran bahwa saya mungkin telah
menyimpang, sesat dan sebagainya. Dan hal tersebut sangat saya pahami,
mengingat jalur pendidikan teology yang saya dalami selama ini adalah dari aliran
pentakosta. Bahkan saat ini saya sedang berjuang belajar di sekolah beraliran
kharismatik, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai kelompok bidat dan
sesat. Tetapi saya tidak mempersoalkan penilaian orang seperti apa, sebab
masing-masing orang bebas menilai sesuatu sesuai dengan apa yang ia pahami. Kembali
lagi, mengenai sesatnya dan bagaimana, biar waktu yang menjawab.
Lalu pertanyaanya apakah saya benar-benar
telah meninggalkan asas pengajaran yang saya terima dari kecil? Disini saya dengan
tegas menyatakan tidak! Lalu bagaimana dengan pendidikan dan pelayanan saya
selama ini? Apakah saya bermuka dua? Terlalu panjang untuk menjawab itu. Intinya
saya tetap berkeyakinan bahwa Allah bekerja dalam gereja secara universal, jadi
sayapun bebas melayani dan menimbah ilmu di gereja dan aliran manapun, tanpa dhantui perasaan berdosa atau takut sesat. Mengenai penilaian orang, itu suka-suka mereka, i dont't care!
Dan
tentu banyak yang menjadi alasan mengapa kemudian saya memilih untuk saat ini focus digereja kalangan Pentakostal? Salah satunya mungkin karena latar belakang
ekonomi keluarga kami yang tidak memungkinkan untuk belajar di sekolah yang
berlatar belakang injili/ protestan. Bukan rahasia lagi bahwa biaya untuk sekedar
belajar sekolah-sekolah dan STT aliran protestan sangat tinggi, sehingga
orang-orang yang ekonominya pas-pasan seperti kami hanya bisa gigit jari.
Berbeda dengan sekolah-sekolah dibawah
nauangan gereja aliran Pentakosta, yang relative lebih murah dibandingkan
sekolah-sekolah protestan. Bahkan saya tahu banyak dari sekolah-sekolah aliran
Pantekosta yang justru merekrut anak-anak muda dari pelosok dan dikuliahkan
secara gratis, jadi itu salah satunya.
Sebelum mengutarakan alasan selanjutnya, mungkin kita tidak asing lagi dengan
istilah anak muda jaman now yaitu “kurang piknik”
Saya melihat hamba-hamba Tuhan dalam jemaat
kita dan GTM umumnya masih banyak yang (maaf) kurang piknik. Ini bukan istilah yang bersifat
satire, atau menjelek-jelekkan hamba-hamba Tuhan, tetapi ini gambaran bahwa kebanyakan pelayan-pelayan dalam gereja kita masih kurang membuka mata secara luas dan melihat perbandingan ke gereja-gereja lain.
Bagaimana gereja lain bisa maju, bukan hanya dalam hal management gereja,
tetapi juga jemaat yang benar-benar bertumbuh rohaninya dengan baik. Bagaimana pengetahuan Alkitab yang
memadai, perkembangan teology secara kontekstual yang berkembang mengikuti
jaman, semua itu jujur, kita masih sangat kurang. Yang ada adalah kita hanya berkutat terhadap
masalah-masalah dalam jemaat, tidak boleh ini, tidak boleh itu, harus begini
harus begitu. Kita terkungkung dalam sebuah doktrin yang kaku dan monoton, skeptis dan enggan
untuk bersentuhan dengan denominasi lain dengan alasan menjaga ortodoksi.
Mohon untuk dipahami bahwa ini bukan berarti kita harus mengadopsi teologi gereja lain, tetapi paling tidak kita memiliki perbandingan, bila perlu yang baik kita ambil, yang melenceng, kita jadikan pelajaran. Tidak ada satupun gereja atau denominasi yang benar-benar sempurna, itulah sebabnya gereja dituntut untuk saling melengkapi satu dengan yang lain, sampai gereja sebagai tubuh Kristus tersusun rapih dan sempurna.
Mohon untuk dipahami bahwa ini bukan berarti kita harus mengadopsi teologi gereja lain, tetapi paling tidak kita memiliki perbandingan, bila perlu yang baik kita ambil, yang melenceng, kita jadikan pelajaran. Tidak ada satupun gereja atau denominasi yang benar-benar sempurna, itulah sebabnya gereja dituntut untuk saling melengkapi satu dengan yang lain, sampai gereja sebagai tubuh Kristus tersusun rapih dan sempurna.
Lalu bagaimana dengan kerohanian sebagai jemaat
besar, adakah kita mengalami kemajuan? Tentu kita harus berani mengakui bahwa
kita masih jauh. Sebuah contoh ini saja, bahwa terbukti kasus hamil diluar nikah masih terus mewarnai
kehidupan anak-anak muda dalam jemaat kita. Ini saya tidak sedang memvonis atau bermaksud menjatuhkan
maupun merendahkan martabat jemaat saya sendiri, atau sedang menghakimi dan mempermalukan seseorang atau keluarga tertentu. Dan kita tidak perlu menjadi baper dan tersinggung untuk hal ini. Jika harus tersinggung, mari kita tersinggung bersama-sama. Kasus ini sudah umum dan siapapun dalam jemaat, masing-masing kita pernah mengalaminya. Karena itu, ini adalah kenyataan yang harus
kita sadari dan gumuli bersama-sama. Tidak perlu merasa malu mengakui, karena ini menyangkut kebaikan kita bersama dan generasi
jemaat kita kedepannya. Kita mestinya membuka mata lalu bertanya ada apa? Mengapa
generasi kita seperti ini, apa tindakan yang harus kita lakukan? Kita jangan berlaku pasif dan bermasa bodoh, seakan pasrah dengan keadaan. Lalu solusinya
bagaimana? Tentu kita tidak akan menemukan solusi yang tepat, tetapi akar masalahnya
perlu kita ketahui. Kurangnya pengawasan oang tua? Bisa jadi. Kurangnya disiplin
dalam jemaat? bisa jadi demikian! Itu semua harus kita pikirkan.
Sedikit mengenai disiplin, bahwa semenjak
saya berbaur ditengah jemaat aliran Pentakosta, saya melihat banyak hal yang
sangat baik dalam hal pemuridan dan disiplin bagi jemaat. Sebagai contoh, para pendeta
aliran pentaskosta tidak akan berani memberkati pasangan yang bermasalah, entah
itu pasangan hamil luar nikah, maupun pasangan bermasalah lainnya seperti status
bergereja yang tidak jelas. Bagi mereka memberkati pasangan demikian didalam suatu pernikahan
kudus adalah pelanggaran berat, bukan hanya kepada lembaga gereja tetapi juga kepada Tuhan. Bagaimana pun pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan kudus dihadapan Tuhan yang harus dijaga kesucian dan kekudusannya.
Sementara dalam jemaat kita, saya melihat bahwa hal demikian bukan menjadi masalah yang berarti, sepanjang semua yang menyangkut administrasi gerejawi terpenuhi.
Saya kurang mengerti mengapa demikian, tetapi kebanyakan hamba-hamba Tuhan kita
seringkali terbentur dengan slogan “jangan menghakimi”. Hal lain yang menjadi kendala adalah aspek "kekeluargaan" yang tarlalu kuat mengikat. Sehingga praktek "ma'kamase bombo" sudah menjadi hal yang biasa bagi para pelayan gereja kita.
Saya cukup mengerti bahwa posisi seorang pelayan Tuhan dalam kasus ini benar-benar sulit. Mengendepankan aspek kekeluargaan atau menegakkan disiplin rohani, dan itu memang butuh seorang hamba Tuhan yang berintegritas. Dan kebanyakan memang pada akhirnya pelayan-pelayan gereja kita lebih memilih mengedepankan aspek kekeluargaan, atau dengan kata lain cari aman. Yah sudah!
Lalu bagaimana dengan tata tertib gerejawi? Memang benar ini bentuk pendisiplinan, tetapi tata tertib tersebut pada kenyataannya hanya bersifat formalitas semata, sehingga sama sekali tidak memberi efek yang signifikan bagi kasus-kasus seperti ini. Toh semua pada akhirnya bisa diberkati koq, mungkin itu sebagian pemikiran orang.
Saya cukup mengerti bahwa posisi seorang pelayan Tuhan dalam kasus ini benar-benar sulit. Mengendepankan aspek kekeluargaan atau menegakkan disiplin rohani, dan itu memang butuh seorang hamba Tuhan yang berintegritas. Dan kebanyakan memang pada akhirnya pelayan-pelayan gereja kita lebih memilih mengedepankan aspek kekeluargaan, atau dengan kata lain cari aman. Yah sudah!
Lalu bagaimana dengan tata tertib gerejawi? Memang benar ini bentuk pendisiplinan, tetapi tata tertib tersebut pada kenyataannya hanya bersifat formalitas semata, sehingga sama sekali tidak memberi efek yang signifikan bagi kasus-kasus seperti ini. Toh semua pada akhirnya bisa diberkati koq, mungkin itu sebagian pemikiran orang.
Jika dibandingkan dengan Jakarta, kota yang rentan
seks bebas, pergaulan bebas, narkoba dan lain-lain bagi anak muda, tetapi saya
melihat jarang bahkan belum pernah terjadi anak-anak muda gereja dimana kami bergerja jatuh dalam
dosa perzinahan. Mengapa, karena disiplin. Sejak dini mereka sudah ditanamkan bahwa
jatuh dalam perzinahan samapi hamil diluar nikah berarti menjauhkan diri dari pelayanan-pelayanan
gerejawi seperti penikahan dan sebagainya. Dan bagi mereka, adalah aib jika
menikah tanpa pemberkatan di gereja. Mungkin ada sebagian yang menilai bahwa
hal tersebut berlebihan dan melanggar prinsip kasih, tetapi buktinya
kasus-kasus seperti hamil diluar nikah jarang bahkan belum pernah terjadi.
Saya
rasa terlalu panjang jika saya harus mengurai satu-persatu dan ini mungkin yang
terkahir. Bahwa saya melihat antusias kaum Pentakostal dalam beribadah sangat luar biasa. Bagaimana
respeknya terhadap firman Tuhan, serta ekspresi yang benar-benar lepas dalam memuji Tuhan. Sementara kita, yah jawab sendiri, merokok dalam gereja? Yes, Ngobrol? Yah!
Kita masih jauh dari kesadaran akan hadirat Allah dalam ibadah yang harus
dihormati secara kusyuk.
Selain itu kita harus mengakui dan berani angkat
jempol bahwa perkembangan kekristenan di Indonesia sebagian besar merupakan
sumbangsi dari gereja aliran pentakosta. Lagu-lagu rohani kontemporer,
kebaktian-kebaktian kebangunan rohani yang membuat jutaan orang menerima Kristus,
semua dari mereka. Pembicara-pembicara rohani terkenal yang menghiasai layar televisi Indonesia saat ini
dari mana? Dari aliran pentakosta!
Sementara kita hanya duduk manis sebagai
penonton, asik sendiri sembari jadi komentator, wah ini sesat, itu sesat! Sampai Tuhan datang kita masih begitu-begitu saja. Sementara gereja-gereja lain sibuk menginjil kemana-mana, melakukan pelayanan misi dan sosial bagi masyarakat pelosok-pelosok negeri tanpa memandang gereja, agama dan suku manapun. Dan sekali lagi kita hanya sebagai penonton! Ladang sudah menguning dan
siap dituai, tetapi pekerjanya sedikit, karena pekerjanya sibuk jadi komentator. Mestinya masih banyak lagi hal yang ingin kutulis, tapi
saya merasa tulisan saya sudah melenceng telalu jauh. Jadi kembali kepada
pokok masalah apakah saya berpaling? Jawabnya saya hanya lagi piknik, dah
itu saja.
Dirgahayu 80 tahun Bambangbuda, menjadi jemaat yang berkembang dan bertumbuh dalam Kristus. Tuhan memberkati.
Shalom!
Jakarta, 18 Juli 2019
KLB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar