Saya terobsesi menulis angan-angan saya tentang Buntu Bulo setelah melihat beberapa postingan teman-teman di Facebook. Katanya dalam perayaan ulang tahun jemaat Bambangbuda yang ke 80 tahun 2019 ini, salah satu acara yang diagendakan adalah ibadah padang yang akan dilaksanakan di Buntu Bulo.
Lalu saya berpikir bahwa ini adalah moment
yang pas untuk kembali melirik lokasi yang selama ini hanya menjadi hutan
alang-alang, padahal tempat ini menyimpan banyak sejarah tentang Bambangbuda. Sebagai
suatu kumpulan mayarakat yang tengah beranjak kearah modernisasi, seharusnya sarana penunjang seperti sarana rekreasi menjadi salah satu perhatian serius pemerintah desa.
Kerja bakti pembersihan area Buntu Bulo |
Sedikit mengenai Buntu Bulo, bahwa Buntu dalam bahasa daerah Bambam berarti gunung atau bukit, dan bulo adalah tumbuhan bambu, sejenis bambu tamiang yang biasa dipergunakan masyarakat Sunda untuk membuat suling ataupun toleat. Disebut Buntu Bulo karena disekitar bukit tersebut terdapat banyak tumbuhan “bulo“ yang tumbuh secara liar.
Buntubulo, memilki posisi yang sangat
strategis karena berada persis dipertengahan kampung
sehingga dekat dengan
pemukiman. Selain puncaknya yang cukup lapang, tempat ini juga
memberikan suguhan pemandangan alam yang luar biasa. Kita dapat menikmati
indahnya matahari sore yang perlahan menghilang dibalik barisan pegunungan
Mehalaan yang dipadu dengan eksotisnya pemandangan persawahan yang membentang indah
disela-sela pegunungan Pepana yang hijau. Meski hanya tergolong bukit kecil,
berada di puncak Buntu Bulo juga memungkinkan kita dapat menikmati pemandangan
ke hampir seluruh wilayah perkampungan Bambangbuda dan Rantebulahan. Dan yang
tidak kalah menarik dari Buntu Bulo adalah, tempat ini menjadi saksi bisu
masuknya injil ke Bambangbuda delapan puluh tahun silam. Tempat ini adalah tempat
bersejarah dimana bangunan pertama dari gereja Bambangbuda yang konon hanya terbuat
dari tiang bambu dan atap alang-alang dibangun. Namun dari bangunan sederhana tersebut
kemudian melahirkan jiwa-jiwa yang sebelumnya masih memeluk agama nenek moyang atau alu' to yolo, kemudian memberikan hidupnya kepada Kristus dan menjadi cikal bakal lahirnya jemaat Bambangbuda yang sampai sekarang merupakan salah satu
jemaat terbesar dalam lingkup Gereja Toraja Mamasa.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi di Buntu Bulo adalah baptisan secara massal bagi jemaat yang menerima kekristenan dan konon ditandai dengan pembakaran embe' atau jimat dari beberapa orang tua sebagai bukti penerimaan mereka terhadap berita Injil.
Salah satu peristiwa penting yang terjadi di Buntu Bulo adalah baptisan secara massal bagi jemaat yang menerima kekristenan dan konon ditandai dengan pembakaran embe' atau jimat dari beberapa orang tua sebagai bukti penerimaan mereka terhadap berita Injil.
Demikian mungkin gambaran singkat mengenai
Buntu Bulo. Nah, tahun 2015 yang lalu kami berkunjung ke Semarang, dan salah
satu destinasi yang kami kunjungi adalah bukit Doa Ungaran. Bukit Doa Ungaran
atau lebih sering disebut Bukit Doa Getsemani merupakan sebuah kawasan yang
khusus diperuntukkan bagi mereka yang rindu untuk berdoa, baik doa pribadi
maupun kelompok atau rombongan. Dalam kawasan ini terdapat fasilitas semacam
gua yang diperuntukkan untuk para pendoa perseorangan, dan disediakan pula
ruangan-ruangan bagi pendoa yang rombongan. Suasananya yang asri dan sejuk, membuat
kawasan ini sangat cocok sebagai tempat untuk sekedar menenangkan diri,
berpuasa ataupun bermeditasi. Dan banyak warga yang berkunjung ke tempat ini,
bahkan bukan hanya warga Semarang saja, tetapi banyak juga dari Jakarta,
Surabaya bahkan dari luar negeri.
Bukit Doa Ungaran |
Kebun Teh Puncak Bogor |
Saya kemudian berpikir, mengapa Buntu Bulo
tidak difungsikan layaknya seperti bukit doa Ungaran? Letaknya yang strategis dan
dekat dengan pemukiman menjadikan tempat ini layak untuk dijadikan tempat untuk
sekedar menenangkan pikiran atau rekreasi kecil bagi masyarakat Bambangbuda.
Mungkin tidak harus dengan fasilitas yang besar dan mewah seperti di Ungaran, tetapi paling
tidak tempat ini haruslah tertata secara rapih. Dengan membuat taman misalnya,
atau yang lagi trend jaman now, spot untuk berswafoto dengan latar belakang buntu
Pepana atau Muri-Muri.
Bahkan bila memungkinkan dibuat semacam pendopo yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk acara ibadah padang, camping dan sebagainya. Dan terpenting yang seharusnya ada diatas tanah bekas bangunan gereja pertama adalah prasasti atau tugu peringatan sebagai penanda, sehingga kedepannya generasi muda pun tahu bahwa tanah ini menjadi saksi akan masuknya injil ditengah Bambangbuda. Jadi selain berfungsi sebagai sarana rekreasi, tempat ini juga dapat terpelihara dan tidak terbengkalai begitu saja. Betapa tidak tempat ini menyimpan banyak sejarah penting tentang jemaat Bambangbuda.
Akses menuju Buntu Bulo berupa jalan setapak dari Salutabo, dan Lemba Timbu harus dibuat sebagus mungkin, dan ini pun bisa menjadi daya tarik tersendiri bila dibuat sedemikian rupa, seperti jalan-jalan ditengah perkebunan teh Puncak Bogor. Sepanjang jalan setapak ini nantinya dapat dipercantik dengan tanaman bunga puring dan tanaman hias lainnya. Tentu tidak boleh ketinggalan penerangan yang cukup, sehingga memungkinkan untuk berkunjung ke Buntu Bulo pada malam hari. Lalu mungkin kita berpikir, sumber listriknya dari mana? Saat ini masalah penerangan jalan tidak perlu repot bergantung pada PLN. Saya melihat sebagian jalan-jalan besar di Jakarta telah menggunakan solar panel atau listrik tenaga surya sebagai sumber penerangan jalan.
Selain sebagai akses, jalan setapak ini tentu dapat dijadikan sebagai sarana berolahraga seperti sepeda gunung atau hiking. Bagaimanapun masyarakat Bambangbuda saat sedang menuju kepada gaya hidup modern layaknya masyarakat perkotaan, dan tentu butuh rekreasi dan juga olahraga, lalu kenapa tidak sarana dan prasarananya disiapkan dari sekarang?
Bahkan bila memungkinkan dibuat semacam pendopo yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk acara ibadah padang, camping dan sebagainya. Dan terpenting yang seharusnya ada diatas tanah bekas bangunan gereja pertama adalah prasasti atau tugu peringatan sebagai penanda, sehingga kedepannya generasi muda pun tahu bahwa tanah ini menjadi saksi akan masuknya injil ditengah Bambangbuda. Jadi selain berfungsi sebagai sarana rekreasi, tempat ini juga dapat terpelihara dan tidak terbengkalai begitu saja. Betapa tidak tempat ini menyimpan banyak sejarah penting tentang jemaat Bambangbuda.
Akses menuju Buntu Bulo berupa jalan setapak dari Salutabo, dan Lemba Timbu harus dibuat sebagus mungkin, dan ini pun bisa menjadi daya tarik tersendiri bila dibuat sedemikian rupa, seperti jalan-jalan ditengah perkebunan teh Puncak Bogor. Sepanjang jalan setapak ini nantinya dapat dipercantik dengan tanaman bunga puring dan tanaman hias lainnya. Tentu tidak boleh ketinggalan penerangan yang cukup, sehingga memungkinkan untuk berkunjung ke Buntu Bulo pada malam hari. Lalu mungkin kita berpikir, sumber listriknya dari mana? Saat ini masalah penerangan jalan tidak perlu repot bergantung pada PLN. Saya melihat sebagian jalan-jalan besar di Jakarta telah menggunakan solar panel atau listrik tenaga surya sebagai sumber penerangan jalan.
Selain sebagai akses, jalan setapak ini tentu dapat dijadikan sebagai sarana berolahraga seperti sepeda gunung atau hiking. Bagaimanapun masyarakat Bambangbuda saat sedang menuju kepada gaya hidup modern layaknya masyarakat perkotaan, dan tentu butuh rekreasi dan juga olahraga, lalu kenapa tidak sarana dan prasarananya disiapkan dari sekarang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar