Meninggalkan Keduniawian, Pdt. Erastus Sabdono, PDO Filemon, 31 Oktober 2016
II Korintus 5:1-10
Fakta
tentang dahsyatnya kekekalan yang akan kita alami seharusnya menjadi perenungan
penting bagi kita, dengan demikian kita akan berpikir bagaimana harus hidup
berkenan dihadapan Tuhan. Kesadaran akan kedahsyatan Tuhan (wibawa, kharisma,
kuasa dan sebagainya) akan membawa kita pada kegentaran terhadap Dia sehingga
kita berusaha mengenal secara pribadi, dan
mengalami perjumpaan dengan Dia.
Kemah tempat
kita tinggal di dunia ini hanyalah sementara. Saat kemah tersebut dibongkar,
kita akan hidup dalam kemah abadi yang sudah disediakan Allah bagi kita.
Pemazmur menggambarkan bahwa batas umur kita didunia ini hanya tujuh puluh
tahun saja. Suatu hitungan waktu yang begitu singkat dibandingkan dengan
kekalan yang akan kita alami. Oleh sebab itu waktu yang masih diberikan Tuhan
kepada kita sampai saat ini seharusnya menjadi kesempatan yang berharga, dimana
berjumpa dan berusaha hidup berkenan kepada-Nya.
Perjumpaan
dengan Allah akan melunturkan kebergantungan dan kecintaan kita terhadap dunia.
Dan kita akan lebih tertarik membangun intimasi yang erat dengan Tuhan.
Hubungan kita dengan Tuhan digambarkan rasul Paulus sebagai hubungan suami dan
istri. (Efesus 5:22-33). Sebagaimana seorang suami memiliki cinta yang tulus
kepada isterinya, demikianpun Tuhan terhadap umat-Nya. Kecintaan Yesus Kristus
sebagai Sang mempelai pria kepada gereja-Nya, ditandai dengan kerelaan-Nya mati
“dibunuh “oleh Bapa-Nya sendiri, demi menebus dosa umat-Nya. Lalu bagaimana
respon kita, apakah kita juga sudah mencintai Tuhan dengan sepenuh hati kita?
Atau bagaimana kita membalas cinta dan pengorbanan Tuhan kepada kita? Yesus
rela meninggalkan segala kemuliaan-Nya hanya untuk bertemu bahkan mati buat
kita. Sebagai calon mempelai Kristus, kitapun seharusnya rela meninggalkan
segala kemuliaan yang kita miliki di dunia ini. Meninggalkan kemuliaan dunia
bukan berarti kita harus melepaskan semua yang kita miliki. Tetapi hidup kita
haruslah mengalami perubahan. Kita tidak lagi menggantungkan kebahagiaan kepada
apa yang bisa diraih di dunia ini, tetapi kita mengarahkan perhatian yang
tertuju kepada Yesus dan menganggap semua yang ada didunia ini sebagai titipan
semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar